Selasa, 10 Mei 2011

Potret Kemiskinan Di Indonesia

LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
KEMISKINAN DI INDONESIA
Di setiap negara, persoalan kemiskinan menjadi masalah yang sangat kompleks yang dihadapi oleh seluruh pemerintahan. Begitu juga persoalan  kemiskinan di negeri ini, tentunya mempunyai tempat tersendiri dalam proses pembangunan bangsa. Sudah menjadi trend di setiap pemilihan presiden, gubernur, hingga bupati tema dan jargon kampanye takkan terlepas dari persoalan ini. Kemiskinan seolah indentik dengan sebagian besar masyarakat kita, hingga bermunculan indikator-indikator yang dapat mengukur tingkat kemiskinan penduduk entah itu dalam versi mana saja.
Sering juga kita saksikan bagaimana perdebatan yang pro maupun kontra dalam melihat persoalan kemiskinan. Baik itu mengenai data hingga metode perhitungan tingkat kemiskinan itu sendiri, hingga tak jarang perdebatan itu berujung pada tataran data, berapa jumlah masyarakat miskin, yang kemudian jauh dari fokus bagaimana menuntaskan kemiskinan di negeri ini.
Secara umum kemiskinan lazim diartikan sebagai kondisi dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain; tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi geografis, gender dan kondisi lingkungan.
Definisi beranjak dari pendekatan berbasis hak yang menyatakan bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau kelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Akan tetapi, parameter yang lazim digunakan para analis dalam menetapkan jumlah kemiskinan lebih cenderung pada pendekatan pemenuhan kebutuhan pokok. Dari hal ini, seseorang dikatakan miskin manakala dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya, yakni; makanan, asupan kalorinya minimal 2.100 kkal/hari per kapita. Dalam perkembangannya, perhitungan angka kemiskinan dari segi pendapatan tidak dapat mencerminkan kemiskinan di Indonesia secara sepenuhnya, banyak penduduk Indonesia yang ’tidak miskin dari segi pendapatan’ dapat tergolong miskin berdasarkan kurangnya akses mereka terhadap layanan publik dan buruknya indikator-indikator pembangunan manusia mereka.





POKOK PERMASALAHAN
Potret Kemiskinan di Indonesia
“Dalam 10 hingga 15 tahun ke depan, kemiskinan masih akan jadi masalah utama bangsa Indonesia, dilihat dari segi konsumsi maupun pendapatan.” ujar Dr. Sri Adiningsih, MSc., ekonom dari Universitas Gajah Mada, salah satu narasumber di Konsultasi Nasional yang diadakan oleh Institut Leimena bersama dengan Persatuan Gereja-gereja Indonesia, Persatuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia, serta Persatuan Gereja Pentakosta Indonesia, September 2008 lalu.

Dr. Sri Adiningsih menampilkan potret ekonomi Indonesia sebagai berikut:
Stabilitas ekonomi makro tetap terjaga, namun rapuh, apalagi pasar keuangan global tengah menghadapi krisis. Pertumbuhan ekonomi meningkat, terutama karena kenaikan harga barang primer dan sektor non-tradable. Kebijakan ekonomi terlalu liberal karena semakin bergantung ke luar negeri. Anggaran terjebak kebijakan jangka pendek, tampak populis, tapi pembangunan strategis seperti jembatan, jalanan, atau listrik tidak dilakukan.

Sementara itu, kemiskinan di Indonesia masih besar. Padahal definisi “kemiskinan” yang dipakai sudah sangat lunak dibandingkan, misalnya, dengan standar Bank Dunia. Belum lagi penambahan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan Raskin (Bantuan Beras bagi Rakyat Miskin) dapat menurunkan angka kemiskinan secara semu. Dari banyak penelitian, sumber kemiskinan antara lain adalah kualitas Sumber Daya Manusia yang rendah, infrastruktur yang buruk, dan ketiadaan modal.

Pilar ekonomi Indonesia saat ini sebetulnya UKM. Di sinilah banyak orang miskinnya. Namun usaha mikro sekarang berkembang bukan akibat desain pemerintah, tapi karena orang tidak ada pilihan. Daripada menganggur, lebih baik membuka Warteg atau sejenisnya. Usaha kecil di Indonesia naik dari 44 juta (2007) menjadi hampir 50 juta (2008). Usaha menengah turun dari 6 juta ke sekitar 4 juta, sedangkan usaha besar umumnya stagnan.

Menurut UN Millenium Project, pertanian adalah cara mengatasi kemiskinan di desa. Selain itu perlu mengembangkan investasi dalam bidang kesehatan dasar, pendidikan, transportasi, listrik, serta pelayanan masyarakat.

Dalam konteks ini, gereja harus menjadi pilar penting dalam memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Gereja harus memberikan pencerahan, semangat, optimisme. “Walaupun kecil, kita jangan mengalami minority syndrome. Gereja-gereja di Indonesia punya jaringan nasional dan berbagai program pengentasan kemiskinan, meskipun hasilnya memang masih jauh dari memuaskan.” papar Dr. Sri Adiningsih. Ia pun menceritakan pengalamannya menjadi pembina program sosial di gerejanya. “Motto kami adalah melayani dulu, urusan uang kemudian, jadi bukannya bertanya dulu apakah punya uang atau tidak.“Ini adalah pekerjaan besar, tapi saya percaya kita akan bisa melakukannya dengan cara dan kemampuan kita masing-masing.” kata Dr. Sri Adiningsih dengan optimis.
Jumlah warga miskin makin bertambah

“Dari data Dinkes Surabaya, pada tahun 2006, prevalensi balita gizi kurang sebesar 8,32 persen dan pada 2007 turun menjadi 6,86 persen. Tahun 2006 sebesar 2,09 persen, dan tahun 2007 menjadi 1,96 persen. Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya dr Esti Martiana mengatakan tingginya kasus gizi buruk karena perilaku hidup sehat masyarakat yang memang rendah, ditunjang dengan rendahnya daya beli. Semburan lumpur Sidoarjo yang telah berlangsung hampir dua tahun ini memiliki kontribusi munculnya kemiskinan baru. Ribuan warga kehilangan pekerjaan. Demikian juga bencana banjir yang melanda lebih dari 15 daerah di Jatim semakin menambah keterpurukan petani, apalagi harga kebutuhan pokok semakin melambung.
”Di Kota Makassar, jumlah warga miskin sekitar 350.780 jiwa (70.156 keluarga) atau sekitar 30 persen dari total penduduk 1,2 juta jiwa lebih. Sementara itu tahun 2005 jumlahnya masih sekitar 60.000 keluarga yang tersebar di 14 kecamatan. Berdasarkan data sensus daerah (Susda) Provinsi Sulsel dua tahun lalu, jumlah penduduk miskin masih 201.487 juta keluarga (sekitar 820.000 jiwa) atau sekitar 10,85 persen dari sekitar 8 juta jiwa penduduk di daerah ini. Jumlah tersebut terus berkembang hingga saat ini. Dinas Ketahanan Pangan (DKP) Sulsel mencatat, dari 23 kabupaten/kota di Sulsel, masih terdapat tujuh kabupaten dalam kondisi rawan pangan, diantaranya Kota Makassar, Kabupaten Jeneponto, Takalar, dan Selayar.
“Begitu pula di Cilacap, Jawa Tengah, 635.000 jiwa atau sekitar 163.000 keluarga berstatus warga miskin. Hal itu disampaikan secara resmi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) pada pekan lalu. Jumlah warga miskin tersebut merupakan 37 persen dari jumlah total penduduk Cilacap yang mencapai 1,7 juta jiwa. Sementara itu, berdasarkan jatah beras untuk warga miskin (raskin) di wilayah Bulog Subdivisi Regional IV Banyumas, di Cilacap yang mendapat bantuan raskin sekitar 170.000 keluarga, di Banyumas 173.479 keluarga, Kabupaten Purbalingga 105.690 keluarga dan Banjarnegara 112.979 keluarga. (Kutipan dari Sinar Harapan, 25 Maret 2008, disingkat)
Bisa makin bertambah parah lagi
Apa yang tercantum di atas adalah baru satu berita dari satu koran pada satu hari saja, tetapi toh sudah cukup kiranya bagi seseorang untuk membayangkan betapa besarnya kemiskinan yang juga melanda berbagai daerah lainnya di negeri kita, umpamanya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Tengah, Maluku, Indonesia Timur, Nusa Tenggara, termasuk di pulau Jawa. Penderitaan rakyat yang diakibatkan oleh kemiskinan yang luas ini sekarang makin bertambah lagi, dengan adanya kenaikan yang tinggi sekali harga-harga pangan (beras, jagung, kedelai, cabe, daging sapi, ayam, minyak goreng dll) dan bahan bakar. Kenaikan harga pangan ini masih akan bisa lebih parah lagi kalau krisis pangan di skala internasional sudah mulai juga memasuki negeri kita. Maka, betul-betul cilakalah sebagian besar rakyat Indonesia !!!
Adalah sangat menarik untuk diperhatikan bersama bahwa soal krisis pangan ini rupanya mendorong presiden SBY mengirim surat kepada Sekjen PBB , Ban Ki Moon, karena harga-harga pangan di skala internasional sudah melambung tinggi dengan kenaikan 40 %. Ini masih ditambah gejolak keuangan global yang sampai sekarang belum rampung dan kita belum tahu tentang kerusakan atau dampak yang terjadi. Pernyataan presiden SBY ini dikuatkan oleh pernyataan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda Goeltom, yang mengatakan bahwa harga komoditas pangan dunia saat ini mencapai puncak tertinggi. (Sinar Harapan, 27 Maret 2008)
Kalau harga-harga makin memuncak dan krisis pangan mulai menyerang, maka akan makin banyak jugalah anak-anak balita yang mengalami gizi buruk atau busung lapar. Artinya, kalau menurut Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Departemen Pertanian (Deptan) RI Tjuk Eko Hari Basuki, 27 persen bayi di bawah lima tahun (balita) di Indonesia mengalami gizi buruk, maka angka 27 persen itu akan bertambah, entah dengan berapa persen. “Gizi buruk itu tidak terjadi mendadak, tapi sudah lama. Hasilnya, kami memberikan Rp25 juta kepada setiap dari 300 kabupaten/kota yang tergolong miskin. Di Jatim sendiri tercatat delapan daerah miskin, terutama di Madura dan kawasan `tapal kuda`,” katanya, menurut berita Antara 13 Maret 2008.
Anak-anak balita yang kurang gizi
Para pembaca yang budiman, mohon direnungkan dalam-dalam isi beberapa berita tersebut di atas. Mengapa di negeri kita, yang terkenal sebagai negeri yang kaya dengan sumber alam dan beraneka-ragam tumbuh-tumbuhan, dan sebagian besar tanahnya juga subur, bisa menghadapi kemiskinan yang demikian parah ?
Siapakah yang salah, dan apanya sajakah yang salah ? Atau, siapa yang harus bertanggungjawab atas keadaan yang sudah membikin kesengsaraan puluhan juta, bahkan ratusan juta penduduk ini ? Dan lagi, mohon juga ikut difikirkan akibat yang menyedihkan bagi generasi kita yang akan datang, kalau 27 persen dari anak-anak balita di seluruh Indonesia menderia kurang gizi dan busung lapar. Karena, anak-anak balita yang kurang gizi ini akan kurang normal pertumbuhannya, sehingga akan merusak mutu generasi kita di kemudian hari.
Untuk menambah gambaran lainnya tentang akibat kemiskinan yang meluas di Indonesia adalah angka-angka yang juga cukup “mengerikan” yang bersumber dari UNICEF dan disiarkan oleh harian Kompas (28 Maret 2008). Di situ dijelaskan bahwa 69 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar dan 55 juta orang di Indonesia tidak memiliki akses terhadap sumber air yang aman. Menurut sumber tersebut, keadaan yang demikian ini menyebabkan setiap tahun 100.000 anak berusia dibawah 3 tahun di Indonesia meninggal karena penyakit diare. Ditambahkan juga bahwa setiap harinya ada sekitar 5.000 anak dibawah umur 5 tahun yang meninggal karena diare itu.
Kiranya, jelaslah bahwa sebagian besar kemiskinan yang begitu parah di berbagai daerah negeri kita ini sama sekali bukanlah kesalahan puluhan juta penduduk itu sendiri. Dan, jelaslah juga bahwa 27% dari anak-anak balita di seluruh Indonesia yang kurang gizi atau busung lapar adalah bukan pula dosa anak-anak itu atau orang tua mereka masing-masing. Dan kiranya perlu pula diyakini oleh kita semua bahwa kemiskinan yang menimpa begitu banyak orang itu sama sekali bukanlah kehendak Tuhan atau takdir semata-mata. Atau, juga sama sekali bukanlah hukuman Tuhan atau cobaan terhadap jutaan manusia yang tidak bersalah apa-apa. Artinya, kemiskinan yang luas itu bukanlah « nasib » semata-mata, yang harus diterima dengan sabar dan tawakal saja.
Kemiskinan itu adalah akibat perbuatan manusia-manusia juga, yang juga bisa dirubah atau dilawan bersama-sama. Sebab, walaupun banjir sering melanda berbagai daerah, atau gempa menggoncang banyak tempat, atau bahaya kekeringan menimpa banyak lahan, atau lumpur Lapindo sudah menenggelamkan banyak rumah penduduk, namun penderitaan banyak orang bisa ditanggulangi, dan kemiskinan bisa juga dikurangi, asal saja ada pengelolaan negara yang beres. Negara dan pemerintahan ini adalah bikinan manusia. Negara dan pemerintahan bisa baik, kalau dikelola oleh orang-orang yang baik dan dengan sistem yang baik pula. Dan orang-orang beserta sistem inilah merupakan unsur utama dari suatu kekuasaan politik.
Kemiskinan yang meluas adalah produk kekuasaan politik
Kemiskinan yang sekarang ini melanda Indonesia secara luas, pengangguran yang membengkak sampai puluhan juta orang, anak-anak balita yang kurang gizi yang begitu banyak (27% dari seluruh balita di Indonesia), korupsi yang terus merajalela, kerusakan moral dan kebejatan iman yang telah membusukkan kehidupan « elite » bangsa, kasus BLBI yang berbuntut panyang, kasus KKN-nya Suharto beserta anak-anaknya, bobroknya sistem hukum dan peradilan, berbagai pelanggaran HAM, adalah semuanya produk satu kekuasaan politik. Yaitu produk kekuasaan politik yang mula-mula dibangun oleh Suharto dengan Orde Barunya, dan diteruskan oleh berbagai pemerintahan, sampai pemerintahan SBY-JK yang sekarang ini.
Dengan naiknya harga-harga yang makin menyulitkan kehidupan sehari-hari bagi rakyat, maka banyak golongan dalam masyarakat akhir-akhir ini menggelar berbagai kegiatan atau aksi-aksi di banyak daerah, untuk memanifestasikan kemarahan mereka dan aspirasi mereka akan adanya perubahan untuk perbaikan hidup mereka. Banyaknya aksi-aksi dan beraneka-ragamnya tuntutan yang mereka lancarkan adalah tanda yang penting (dan menggembirakan sekali) yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat berani bangkit dan mengeluarkan suara-suara mereka, untuk mengkritik penyelenggaraan pemerintahan yang tidak beres, untuk menghujat korupsi dan penyelewengan kekuasaan, dan untuk melawan segala ketidakadilan.
Banyaknya aksi-aksi atau beraneka-ragamnya kegiatan yang dilakukan oleh berbagai golongan ini (antara lain : pemuda, mahasiswa, buruh, tani, pegawai negeri, perempuan, pedagang kecil, korban Lapindo, korban gempa dan banjir, pekerja perkebunan) juga menunjukkan makin bertambahnya kesadaran banyak orang untuk berorganisasi dan melakukan kegiatan atau perjuangan secara kolektif dan terkoordinasi. Walaupun sebagian dari aksi-aksi ini untuk sementara masih berjalan sendiri-sendiri atau terpencar-pencar, namun tetap merupakan bagian dari perkembangan yang penting. Sebab, perkembangan perjuangan berbagai golongan ini akhirnya akan melahirkan kekuatan-kekuatan baru dan pemimpin-pemimpin baru, setelah melalui “seleksi” jangka panjang oleh rakyat yang mendambakan demokrasi dan keadilan.
Dalam situasi yang begini ini, peran kaum muda dari berbagai kalangan adalah sangat penting, sebagai bagian dari agen-agen perubahan.
Sekali lagi, patut diulangi, bahwa bangkitnya berbagai kalangan atau golongan masyarakat melalui aksi-aksi atau kegiatan yang beraneka-ragam adalah maha-penting untuk perjuangan memperbaiki kehidupan sehari-hari dan melawan politik pemerintah yang merugikan kepentingan rakyat. Bangkitnya berbagai golongan melalui aksi-aksi yang terkoordinasi juga akan merupakan sumbangan penting kepada usaha untuk mengadakan perubahan-perubahan besar, termasuk perubahan dalam kekuasaan politik. Karena, makin jelaslah sudah sekarang ini, bahwa banyak lembaga negara dan pemerintahan (umpamanya DPR) makin kehilangan kepercayaan rakyat. Karena itu, maka aksi-aksi atau kegiatan extra-parlementer akan memegang peran yang makin penting dan utama dalam mengusahakan adanya perubahan-perubahan yang besar dan mendasar.
Pada Hari Kemiskinan Internasional lalu berbagai pihak menyatakan perang melawan kemiskinan. Ditargetkan pada tahun 2015 Indonesia bebas dari kemiskinan. Ini tekad yang bagus.Namun selain tekad, harus didukung dengan niat yang ikhlas, perencanaan, pelaksanaan dan juga pengawasan yang baik. Tanpa itu semua hanya omong belaka.
Menghilangkan kemiskinan boleh dikata mimpi atau hanya janji surga. Tapi mengurangi kemiskinan sekecil mungkin bisa dilakukan. Ada beberapa program yang perlu dilakukan agar kemiskinan di Indonesia bisa dikurangi.
Pertama, meningkatkan pendidikan rakyat. Sebisa mungkin pendidikan harus terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia. Banyaknya sekolah yang rusak menunjukkan kurangnya pendidikan di Indonesia. Tentu bukan hanya fisik, bisa jadi gurunya pun kekurangan gaji dan tidak mengajar lagi.
Dulu pada tahun 1970-an, sekolah dasar dibagi dua. Ada sekolah pagi dan ada sekolah siang sehingga 1 bangunan sekolah bisa dipakai untuk 2 sekolah dan melayani murid dengan jumlah 2 kali lipat. Sebagai contoh di sekolah saya ada SDN Bidaracina 01 Pagi (Sekarang berubah jadi Cipinang Cempedak 01 Pagi) dan SDN Bidaracina 02 Petang. Sekolah pagi mulai dari jam 7.00 hingga 12.00 sedang yang siang dari jam 12:30 hingga 17:30. Satu bangunan sekolah bisa menampung total 960 murid!
Ini tentu lebih efektif dan efisien. Biaya pembangunan dan pemeliharaan gedung sekolah bisa dihemat hingga separuhnya. Mungkin ada yang berpendapat bahwa hal itu bisa mengurangi jumlah pelajaran karena jam belajar berkurang. Padahal tidak. Sebaliknya jam pelajaran di sekolah terlalu lama justru membuat siswa jenuh dan tidak mandiri karena dicekoki oleh gurunya. Guru bisa memberi mereka PR atau tugas yang dikerjakan baik sendiri, bersama orang tua, atau teman-teman mereka. Ini melatih kemandirian serta kerjasama antara anak dengan orang tua dan juga dengan teman mereka.
Selain itu biaya untuk beli buku cukup tinggi, yaitu per semester atau caturwulan bisa mencapai Rp 200 ribu lebih. Setahun paling tidak Rp 400 ribu hanya untuk beli buku. Jika punya 3 anak, berarti harus mengeluarkan uang Rp 1,2 juta per tahun. Hanya untuk uang buku orang tua harus mengeluarkan 130% lebih dari Upah Minimum Regional (UMR) para buruh yang hanya sekitar 900 ribuan.
Untuk mengurangi beban orang tua dalam hal uang buku, pemerintah bisa menyediakan Perpustakaan Sekolah. Dulu perpustakaan sekolah meminjamkan buku-buku Pedoman (waktu itu terbitan Balai Pustaka) kepada seluruh siswa secara gratis. Untuk soal bisa didikte atau ditulis di papan tulis.
I           ni beda dengan sekarang di mana buku harus ditulis dengan pulpen sehingga begitu selesai dipakai harus dibuang. Tak bisa diturunkan ke adik-adiknya.
Saat ini biaya SPP sekolah gratis hanya mencakup SD dan SMP (Meski sebetulnya tetap bayar yang lain dengan istilah Ekskul atau Les) sedang untuk Perguruan Tinggi Negeri biayanya justru jauh lebih tinggi dari Universitas Swasta yang memang bertujuan komersial. Untuk masuk UI misalnya orang tahun 2005 saja harus bayar uang masuk antara Rp 25 hingga 75 juta. Padahal tahun 1998 orang cukup bayar sekitar Rp 300 ribu sehingga orang miskin dulu tidak takut untuk menyekolahkan anaknya di PTN seperti UI, IPB, UGM, ITS, dan sebagainya. Meski ada surat edaran Rektor bahwa orang tua tidak perlu takut akan bayaran karena bisa minta keringanan, namun teori beda dengan praktek.
Boleh dikata orang-orang miskin saat ini mimpi untuk bisa masuk ke PTN. Jika pun ada paling cuma segelintir saja yang mau bersusah payah mengurus surat keterangan tidak mampu dan merendahkan diri mereka di depan birokrat kampus sebagai Keluarga Miskin (Gakin) untuk minta keringanan biaya.
Tanpa pendidikan, sulit bagi rakyat Indonesia untuk mengurangi kemiskinan dan menjadi bangsa yang maju.
Kedua, pembagian tanah/lahan pertanian untuk petani. Paling tidak separuh rakyat (sekitar 100 juta penduduk) Indonesia masih hidup di bidang pertanian. Menurut Bank Dunia, mayoritas petani Indonesia memiliki lahan kurang dari 0,4 hektar. Bahkan ada yang tidak punya tanah dan sekedar jadi buruh tani. Kadang terjadi tawuran antar desa hingga jatuh korban jiwa hanya karena memperebutkan lahan beberapa hektar!
Artinya jika 1 hektar bisa menghasilkan 6 ton gabah dan panen 2 kali dalam setahun serta harga gabah hanya Rp 2.000/kg, pendapatan kotor petani hanya Rp 9,6 juta per tahun atau Rp 800 ribu/bulan. Jika dikurangi dengan biaya benih, pestisida, dan pupuk dengan asumsi 50% dari pendapatan mereka, maka penghasilan petani hanya Rp 400 ribu/bulan saja.
Pada saat yang sama 69,4 juta hektar tanah dikuasai oleh 652 pengusaha. Ini menunjukkan belum adanya keadilan di bidang pertanahan. Dulu pada zaman Orba (Orde Baru) ada proyek Transmigrasi di mana para petani mendapat tanah 1-2 hektar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Transportasi, rumah, dan biaya hidup selama setahun ditanggung oleh pemerintah.
Program itu sebenarnya cukup baik untuk diteruskan mengingat saat ini Indonesia kekurangan pangan seperti beras, kedelai, daging sapi, dsb sehingga harus impor puluhan trilyun rupiah setiap tahunnya.
Jika petani dapat tanah 2 hektar, maka penghasilan mereka meningkat jadi Rp 48 juta per tahun atau bersih bisa Rp 2 juta/bulan per keluarga.
Memang biaya transmigrasi cukup besar. Untuk kebutuhan hidup selama setahun, rumah, lahan, dan transportasi paling tidak perlu Rp 40 juta per keluarga. Dengan anggaran Rp 10 trilyun per tahun ada 250.000 keluarga yang dapat diberangkatkan per tahunnya.
Seandainya tiap keluarga mendapat 2 hektar dan tiap hektar menghasilkan 12 ton beras per tahun, maka akan ada tambahan produksi sebesar 6 juta ton per tahun. Ini sudah cukup untuk menutupi kekurangan beras di dalam negeri.
Saat ini dari 2 juta ton kebutuhan kedelai di Indonesia (sebagian untuk tahu dan tempe), 60% diimpor dari luar negeri. Karena harga kedelai luar negeri naik dari Rp 3.500/kg menjadi Rp 7.500/kg, para pembuat tahu dan tempe banyak yang bangkrut dan karyawannya banyak yang menganggur.
Jika program transmigrasi dilakukan tiap tahun dan produk yang ditanam adalah produk di mana kita harus impor seperti kedelai, niscaya kekurangan kedelai bisa diatasi dan Indonesia tidak tergantung dari impor kedelai yang nilainya lebih dari Rp 8 trilyun per tahunnya. Ini akan menghemat devisa.
Ketiga, tutup bisnis pangan kebutuhan utama rakyat dari para pengusaha besar. Para petani/pekebun kecil sulit untuk mengekspor produk mereka. Sebaliknya para pengusaha besar dengan mudah mengekspor produk mereka (para pengusaha bisa menekan/melobi pemerintah) sehingga rakyat justru bisa kekurangan makanan atau harus membayar tinggi sama dengan harga Internasional. Ini sudah terbukti dengan melonjaknya harga minyak kelapa hingga 2 kali lipat lebih dalam jangka waktu kurang dari 6 bulan akibat kenaikan harga Internasional. Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa.
Jika produk utama seperti beras, kedelai, terigu dikuasai oleh pengusaha, rakyat akan menderita akibat permainan harga.
Selain itu dengan dikuasainya industri pertanian oleh pengusaha besar, para petani yang merupakan mayoritas dari rakyat Indonesia akan semakin tersingkir dan termiskinkan.
Keempat, lakukan efisiensi di bidang pertanian. Perlu dikaji apakah pertanian kita efisien atau tidak. Jika pestisida kimia mahal dan berbahaya bagi kesehatan, pertimbangkan predator alami seperti burung hantu untuk memakan tikus, dsb. Begitu pula jika pupuk kimia mahal dan berbahaya, coba pupuk organik seperti pupuk hijau/kompos. Semakin murah biaya pestisida dan pupuk, para petani akan semakin terbantu karena ongkos tani semakin rendah.
Jika membajak sawah bisa dilakukan dengan sapi/kerbau, kenapa harus memakai traktor? Dengan sapi/kerbau para petani bisa menternaknya sehingga jadi banyak untuk kemudian dijual. Daging dan susunya juga bisa dimakan. Sementara traktor bisa rusak dan butuh bensin/solar yang selain mahal juga mencemari lingkungan.
Kelima, data produk-produk yang masih kita impor. Kemudian teliti produk mana yang bisa dikembangkan di dalam negeri sehingga kita tidak tergantung dengan impor sekaligus membuka lapangan kerja. Sebagai contoh jika mobil bisa kita produksi sendiri, maka itu akan sangat menghemat devisa dan membuka lapangan kerja. Ada 1 juta mobil dan 6,2 juta sepeda motor terjual di Indonesia dengan nilai lebih dari Rp 200 trilyun/tahun. Jika pemerintah menyisihkan 1% saja dari APBN yang Rp 1.000 trilyun/tahun untuk membuat/mendukung BUMN yang menciptakan kendaraan nasional, maka akan terbuka lapangan kerja dan penghematan devisa milyaran dollar setiap tahunnya.
Keenam, stop eksploitasi/pengurasan kekayaan alam oleh perusahaan asing. Kelola sendiri. Banyak kekayaan alam kita yang dikelola oleh asing dengan alasan kita tidak mampu dan sedang transfer teknologi. Kenyataannya dari tahun 1900 hingga saat ini ketika minyak hampir habis kita masih ”transfer teknologi”.
Sekilas kita untung dengan pembagian 85% sedang kontraktor asing hanya 15%. Padahal kontraktor asing tersebut memotong terlebih dulu pendapatan yang ada dengan cost recovery yang besarnya mereka tentukan sendiri. Bahkan ongkos bermain golf dan biaya rumah sakit di luar negeri ex-patriat dimasukkan ke dalam cost recovery, begitu satu media memberitakan. Akibatnya di Natuna sebagai contoh, Indonesia tidak dapat apa-apa. Kontraktor asing sendiri, seperti Exxon sendiri mengantongi keuntungan hingga Rp 360 trilyun setiap tahun dari pengelolaan minyak dan gas di berbagai negara termasuk Indonesia. Menurut PENA, pada tahun 2008 saja sekitar Rp 2.000 trilyun/tahun dari hasil kekayaan alam Indonesia justru masuk ke kantong asing. Padahal jitu bisa dipakai untuk melunasi hutang luar negeri dan mensejahterakan rakyat Indonesia.
Bahkan untuk royalti emas dan perak di Papua, Freeport yang cuma “tukang cangkul” dapat 99% sementara bangsa Indonesia sebagai pemilik emas cuma dibagi 1%! Bagaimana bisa kaya? Jadi kalau didapat emas dan perak sebesar Rp 100 trilyun, Indonesia cuma dapat Rp 1 trilyun saja!
Banyak perusahaan asing beroperasi menguras kekayaan alam Indonesia. Tetangga saya yang menambang emas bekerjasama dengan penduduk lokal dengan memakai alat pahat dan martil saja bisa mendapat Rp 240 juta per bulan, bagaimana dengan Freeport yang memakai banyak excavator dan truk-truk raksasa yang meratakan gunung-gunung di Papua?Agar Indonesia bisa makmur, maka Indonesia harus mengelola sendiri kekayaan alamnya.Jika beberapa langkah sederhana bisa dilakukan, niscaya Indonesia akan menjadi lebih baik.
KESIMPULAN
Bangsa Indonesia harus sesegera mungkin mencari solusi untuk ini semua, jangan hanya di perbincangkan tapi segera di tindak lanjutin atau cepat di tindak. Karna angka kemiskinan di Indonesia termasuk dalam Negara-negara miskin di dunia. Pemerintah harus tanggap dalam menangani kasus ini dari tahun ke tahun, kita pun sebagai masyarakat juga ikut partisipasi membantu pembangunan ini dan memerangi kebodohan, agar Indonesia dapat maju dan keluar dari jerat kemiskinan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Penulisan:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar